selamat datang senyuman~ Part 2
Satu bulan... Dua bulan... Tiga bulan...
Tiga bulan setelah telfonnya ku tutup secara sepihak,
ia;yang pergi tanpa bahasa sudah berhenti menghubungiku. Mungkin ia lelah
karena selama dua bulan mencoba menghubungiku dan menjelaskan semuanya selalu
tak ku hiraukan. Sedikit serpihan rindu ini masih terasa. Tapi untuk apa ku
larut dalam rindu yang sengaja ku sembunyikan ini.
Untuk mengalihkan rindu dan sedihku adalah kegiatanku di
kampus. Tapi, yang paling menenangkan adalah menulis. Permainan imajinasi,
kata-kata dan emosi yang menarik. Akhir-akhir ini aku tak menulis cerpen, lebih
bermain kata-kata untuk menjadikannya puisi. Entahlah, ku rasa imajinasiku
lebih tinggi dari biasanya.
Seperti biasa aktifitas kampus yang membosankan pun menjadi
makanan sehari-hari. Kuliah, rapat, kuliah, rapat, menjadi biasa bagiku. Apalah
arti kuliah dan rapat jika aku pun masih sulit membinasakan serpihan rindu ini.
Ada beberapa lelaki yang datang dan pergi seiring berjalannya waktu.
Ada satu yang sempat memikat, giliran aku mengikat hati dan
membutuhkannya saat aku sedang dalam kesusahan, ia malah pergi. Entah, mengirim
satu kalimat pun tak ada terbaca olehku. Ya, aku sempat mengabaikan
kepergiannya. Ku anggap biasa saja,
seperti tak sedang jatuh hati dan menanti.
Lambat laun, aku mencoba mencari kabar darinya. Stalking, mungkin aku sedikit khilaf
melakukan hal itu (lagi). Setelah dulu ku lakukan saat ditinggal tanpa bahasa
berbulan-bulan, bahkan hampir satu tahun *skip*.
Bodohnya aku atau sialnya aku (?) entahlah... Jelas sekali di akun 140
karakternya bahwa ia sudah memiliki calon yang baru. Ya, perempuan itu seorang
mahasiswa kedokteran di salah satu universitas kota tetangga.
“fiuh...”, hanya itu yang keluar dari mulutku saat ku lihat,
ku baca, dan... ah sudahlah. Biarkan saja, beruntungnya aku belum terlalu dalam
mengikatkan hati padanya. Walaupun sedikit cemburu menari-nari di atas
kepalaku. Bisa dibilang ini adalah kampret
momen. Dimana saat aku sedang menyembuhkan hati dari kekecewaan, ia datang
dan aku tertarik, saat sudah tertarik kini perasaanku seperti tambang yang
digunakan pada permainan tarik tambang. Di tarik ulur dengan mudahnya tanpa
melihat keadaan hati yang ditarik ulur ini.
Kembali menyembuhkan hati dari “trauma” percintaan. Aku
mengalihkan diri dari hantu bernama cinta. Berkali-kali temanku mengenalkan,
memberi tahu tentang laki-laki yang memang menurut mereka cocok. Apalah arti
lelaki kalau ujung-ujungnya tetap sama, menyakiti.
Setiap kali “coba lah lihat dia yang duduk disana, manis
kan? Itu teman seangkatan kita...” blablabla~ itulah yang selalu mereka katakan
padaku. Tapi memang aku yang sengaja tak menggunakan bantuan melihat, ya
jawabanku selalu sama, “biasa tuh..”. Kelakukanku yang mengjengkelkan memang.
Hingga suatu event kampus
membuka mataku. Aku dipertemukan dengan dia;yang sebenarnya sudah dikenalkan
dan dipromosikan keahliannya, manisnya, baiknya, oleh temanku sejak lama.
Cueknya aku
menanggapi, bukan bukan, bukan cuek. Sengajanya aku tak menggunakan
alat bantu penglihatanku membuat auranya tak begitu terlihat. Tapi aku tau dia
yang pandai blablabla *skip*
Mungkin event
kampus saat itu adalah acara pembukaan mata hati dan mata minus *skip again*. Hhmm... begitu melihat
saja aku tersenyum manis (re:norak). “Manisnya... senyumnya itu lho adem banget
bray”, jelasku pada Naila, sambil mataku tetap fokus memperhatikan. Naila
memukul kepalaku seraya berkata, “Bodoh, itu yang pernah gue bilang ke lo waktu
kumpul perkenalan komunitas penulis dua bulan yang lalu. Makanya kemana-mana
itu dipakai alat bantunya mbak”.
Emh.. kalah sudah aku kalau begini. Memang salahku sendiri,
kemarin komentar “biasa...” sekarang aku mencabut kata-kataku. “Aaarrgghhhh...
kenapa engga bilang kalau manisnya itu ngademin hati Nai!!! Kan langsung bisa
pakai penglihatan keduaku dengan baik dan melihat dengan seksama muehehehe”,
aku terkekeh.
Sejak itu, intensitasku bertemu dengan dia;si manis semakin
banyak. Mulai dari komunitas penulis muda, sampai... *skip* Semakin ku ketahui tentangnya, dalam dan semakin
dalam, makin ku kagumi dirinya. Bukan
hanya cover tapi juga sampai ke dalam
isi buku. Hanya saja kendalaku masih sama, antara malu dan jaim(re: jaga
imut)...(replay : jaga image).
Kini, ia lebih sering bermain di atas kepalaku. Papan catur
saja tak ku simpan di kepalaku, kenapa ia sering bermain di kepalaku? Atau
jangan-jangan ia tak sedang bermain catur, karena aku tak punya papan catur. Melainkan
ia sedang membaca informasi otakku, karena papan informasi otakku bercerita
tentangnya.
Apa ini saatnya kuucapkan “selamat tinggal serpihan selamat
datang senyuman...” (?)
Kenopo aku ngerasa kurang greget wkwk mboan endinge jadian tah lapo wkwk
BalasHapusnice post.... pinternya bikin tulisan blog.. ajarin aq nulis donkkk.....
BalasHapusmutiara : he'e ancen wes ono sg komen jare koncoku kurang greget ngono wkwkk aku bingung ending e tak gawe piye mut
BalasHapusmifta : makasih...