selamat datang senyuman~ Part 1

Hai, selamat malam serpihan... Apa kabarmu setelah sekian lama tak saling sapa? Tak usah kau tanya bagaimana keadaanku, kau pasti tahu jawabanku pasti sama, baik-baik saja tak ada yang perlu kau khawatirkan. Oh, mungkin aku salah. Kau mengkhawatirkanku, apa pernah? Sudahlah, *skip*

Aku disini selalu merindukanmu, bukan berarti aku masih memiliki rindu yang serupa dengan dulu ; saat kau memelukku, hingga kau lepas tanpa bahasa. Tak sedikitpun inginku untuk mengetahui apakah kau merindu. Sesungguhnya itu bukan kebutuhanku lagi. Baiklah ku mulai ceritaku...

Angin kebebasan yang ku hirup sore itu di kota kecil, sungguh menenangkan pikiran. Cerita, tawa dan canda sedang hangat memelukku. Hingga angin kesedihan datang bersama kabar mengejutkan. Mungkin bukan sedih, melainkan kecewa. Telfonku berdering, betapa terkejutnya aku saat melihat nama keramat;namamu itu muncul. Untuk apa kau menghubungiku melalui telepon? Pesan singkat saja kau tak pernah lebih dahulu mengirimkannya.

Agak lama berpikir dan bertanya-tanya akhirnya ku angkat. Saat pertama melihat namamu muncul dilayar handphone-ku saja mataku sudah berkaca-kaca. Entahlah, mungkin rinduku terlalu dalam padamu saat itu. “Assalamu’alaikum ...”, suara berat yang tak asing bagiku ini kembali ku dengar. Tuhan, ingin berteriak rasanya saat mendengar suara itu, tapi mana mungkin di tengah keramaian aku berteriak.

“Wa’alaikumsalam...”, jawabku singkat dan terbata. “Apa kabar cil? Sibuk engga?”, pertanyaan yang terlihat sangat basa-basi. Aku pun enggan menanggapinya dengan basa-basi pula, “Baik,engga kok. Tumben telfon? Kenapa?”. Ah, tak ku pungkiri aku menyesal ketus padanya. “Engga apa-apa kok, kangen aja sama kamu. Udah lama engga pernah telfon, ternyata suara kamu, juteknya kamu masih sama ya”, jawabnya sambil sedikit tertawa, mungkin melumerkan keadaan. “Oh...kangen? Bisa juga kangen setelah sekian lama? Kok aku udah engga kangen ya...”, jawabku penuh kebohongan.

“Hahaha juteknya... engga kok, aku juga engga berniat ganggu kamu. Cuma berniat silaturahmi..” jelasnya. “Sms kan bisa, tumbenan niat silaturahmi sampai telfon. Ada angin apa? Engga usah basa-basi deh.” , kesal sebenarnya. Aku mendengar sedikit kegugupan saat dia akan berbicara, “Aku cuma mau minta maaf, buat semua salah yang pernah aku lakuin. Perlakuanku yang nyakitin kamu selama ini, aku bener-bener ngerasa bersalah. Bahkan buat nelfon dan ngomong langsung kayak gini aja aku ragu. Takut kamu sedih, takut kamu makin terluka..” ungkapnya.

“Setelah 6bulan lebih kamu ninggalin aku tanpa alasan, pergi tanpa penjelasan langsung. Bahkan kamu sama sekali engga pernah mau tahu keadaanku. Gimana terpuruknya aku, gimana sedihnya aku. Seberapa kecewanya aku yang rela nungguin kamu, tapi hasil yang aku dapet nihil. Kenapa baru sekarang kamu bilang kamu ngerasa bersalah? Kenapa baru sekarang kamu minta maaf?!”, aku mengatakannya penuh emosi dan hujan air mata.

Suaranya mulai lirih, “Maaf cil, aku bener-bener engga ada maksut buat bikin kamu seterpuruk ini. Bahkan aku engga ngira kamu butuh waktu selama ini buat berdiri dan mencoba menerima keputusanku yang sepihak dan engga logis. Sedalam itu luka yang aku gores, tapi aku ga pernah sadar. Maaf cil..”.

Aku mulai enggan mendengar ucapan maaf dan rasa bersalahnya, “Aku udah maafin kamu, aku juga udah nerima keputusan kamu walaupun butuh waktu yang cukup lama buat berhenti nangisin kepergian kamu yang singkat dan engga beralasan. Cukup kan telfonnya?”, tanyaku. “Semarah itukah kamu sama aku sampai kamu engga mau denger penjelasan aku yang penuh rasa bersalah ini?” dia balik bertanya. “Cukup buat aku nangisin kamu, sekarang aku mulai bangkit, kamu malah dateng dengan rasa
bersalah. Aku engga mau ngungkit lagi. Please ngerti ya...”. Seketika ku tutup telfon darinya dan aku manangis sejadi-jadinya.

Ya benar, menangis di tempat umum bukanlah pilihan yang tepat. Seketika dirimu menjadi pusat perhatian, karena tangisan bodoh itu. Mendeskripsikan bagaimana perasaan saat itu, hanya satu kata “random”. Semua berkecamuk, marah, sedih, senang, semua jadi satu. Mengapa dia kembali saat aku sudah bersiap menghapus air mataku sendiri? Mengapa dia merasa bersalah saat aku sudah melupakan kekecewaan itu? Mengapa dia kembali saat aku mulai membuka hati untuk cinta yang baru, untuk lembaran baru.

Selama ini memang aku bukan terluka, aku hanya kecewa. Entahlah, apa yang aku rasakan selama ini, yang jelas setiap kali ku ingat bagaimana cara ia meninggalkanku, bagaimana aku menunggu waktu untuk menatap matanya, merasakan hangat sapanya. Tapi apa yang aku dapat? Nihil. Dia meninggalkanku tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Sekarang, aku mulai berdiri, siap kembali menata diri dan hati. Kedatangannya tak mengusik semangatku. Tinggallah sudah kenangan itu, ku kubur dalam-dalam kesedihanku, kecewaku. Tak mau ku tahui tentangnya. Apa dia masih rindukanku, masihkah aku dalam harinya? Entahlah...

Enyah sudah dirinya, aku tak lagi menangisinya. Lebih tepatnya menangisi cara ia meninggalkanku.


***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berat Rasa

Jangan Dipaksa

Berhenti