Sang Pelukis Lara

    Suatu malam biru, masih hari itu yang melagu di kepalaku. Tak habis merindu, mengagumi hingga terpaksa menyudahi. Saling adalah hal ternyaman yang membuat jantung berdegup kencang. Saling merindu, saling mendamba, saling mengasihi, saling mengagumi. 

    Rasa tak menentu kala kudengar titipan rindu yang sengaja ditinggalkan. Kau titip satu untukku, agar selalu dan terus merindu. Teramat lucu, kau mengagumi dalam diam sekian waktu. Mengapa tak sedari dulu? Semua terasa terlambat, padahal kau ingat bagaimana, mengapa dan apa yang membuat kagum tercekat.   

    Ingat kembali, setiap hujan yang kita lewati. Setiap janji yang belum ditepati. Ya, seingatku kita tak pernah melakukan swafoto untuk mengabadikan kebersamaan. Entah, karena telalu malu atau melupa selalu karena setiap pertemuan diburu waktu. Sedikitpun tak terucap sesal. Karena selalu dan masih tersimpan rapi di memori kepala pun hati.

    Sekian lama waktu berlalu, setiap hujan yang turun di ujung mata, selalu membawa rindu. Setiap kata yang tertulis, setiap rindu yang terlukis di tetesnya masih tentangmu. Sendu melagu, begitu yang sering terdengar. 

    Dalam setiap langkah yang mendewasakan, masih ada kisahmu yang membawaku melangkah maju. Pagi merindu, malamku sendu, keduanya datang tak terpisahkan. Yakin betul semua terkunci begitu rapi. Harapan hanya asa berdebu, memori hanya menahan masa lalu.

    Hingga suatu ketika, asa untuk kembali bertatap menjadi nyata. Getar cinta, haru biru, amarah yang merekah berkumpul menjadi satu. Binar mata tak mampu sembunyi, linangannya tak terbendung. Ini rindu atau amarah menggebu? 

    Banyak hal yang tak mampu terdefinisi. Kau adalah salah satu yang ingin kulupa namun justru semakin nyata. Sedikit lagi aku merayakan kebebasan hati tanpamu. Kesalahanku hanya satu, memberimu pintu masuk. Entah apapun alasannya, bibir berkata yang sudah biarlah sudah, namun hati tak mampu pungkiri sisa rasa yang kutitip di atas meja. 

    Padahal beberapa saat lalu kupikir rasa itu tlah menguap. Ternyata uap itu mengendap seakan aroma tanah basah selepas hujan, masuk semakin dalam terkubur jauh membuat resah. Sedingin kabut pagi, kupikir sebentar lagi kita saling lupa. Ternyata salah, hati kembali lara.

    Harap dan asa yang dipendam, muncul seketika. Seperti racun, cepat mengaliri nadi, secepat itu semuanya merasuk kembali. Mimpi-mimpi yang dilepas kembali lagi. Asa yang teramat dalam ingin kujalani, terasa nyata. Semakin besar dan kian membesar memenuhi ruang hati. 

    Namun detik menjadi menit yang menyakitkan. Kembali tak menemukan percaya padamu, Sang Pelukis Lara. Terkoyak kembali rasa dan asa merintih perih. Apalagi yang kau lakukan? Tak ada satu katapun yang mampu kugenggam. Aku hanya kembali terbuai, pada angan yang kau hembus sekejap.

    Lelah, harus kembali berdamai dengan asa yang telah terkubur. Harapku kembali sia-sia, semua pandangan mengabur. "Akankah kembali bersama melukis cerita di tengah hujan?" pikirku. Nyatanya salah, hingga kini tak bisa temui apa-apa yang benar kau rasa. Kutahui satu hal, bual dan terus membual. 

    Namun, linangan ini selalu ada tiap kata per kata dalam cerita. Kau tahu betapa banyak kata hingga kalimat yang tak habis tentangmu. Meyakinkan hati harus selesai dengan rasa untukmu. Melapukkan setiap angan menjadi tulisan. Karena mengenangmu masih menjadi gemarnya kegiatan.

    Aku harus bisa sepertimu, andai cintaku seperti cintamu. Coba lukamu seperti lukaku, yakinlah kau takkan mampu.

***     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puan Si Penipu

Bagian Penting Dalam Alur Cerita